Selasa, 13 Januari 2009

Menyadari dan Mengatasi Timbulnya Keakuan

[Dari buku: "Vipassana Bhavana - Meditasi Mengenal Diri", oleh: Sri
Pannyavaro Mahathera, Hudoyo Hupudio]

MENYADARI DAN MENGATASI TIMBULNYA KEAKUAN

Oleh: Sri Pannyavaro Mahathera

Pikiran, Pemikiran, Sankhara

Dalam pandangan agama Buddha, antara pikiran dan pemikiran tidaklah
dibedakan. Pemikiran yang dalam pengertian umum adalah hasil dari pikiran,
sesungguhnya adalah pikiran itu sendiri. Sama seperti kita melihat rumah.
Komponen-komponen seperti tiang, kasau-kasau, dinding, kerangka atap,
genteng dan lantai; yang disusun membentuk rumah, sebenar-benarnya adalah
rumah itu sendiri. Sama sekali tidak bisa dikatakan, bahwa "rumah" ini
memiliki tiang seperti ini, dinding seperti ini, atap begini, lantai
begitu, dan sebagainya. Rumah yang mana yang memiliki atau menjadi si
pemilik semua itu? Tidak ada! Komponen atau bagian-bagian itu sendiri,
yang tersusun seperti itu, adalah "rumah" itu sendiri. Tidak ada si
pemilik atau bagian utama rumah, dan bagian lainnya adalah bagian yang
dimiliki atau menjadi pelengkap. Persis seperti itu adalah pikiran kita.
Pikiran ini adalah pemikiran itu sendiri, termasuk juga proses berpikir.

Pemikiran itu pun bukan juga suatu yang muncul kemudian berhenti, sehingga
boleh dianggap sebagai hasil akhir dari suatu proses bepikir. Satu
pemikiran muncul sesaat, kemudian berubah, cepat sekali, terus begitu
tanpa henti. Semua yang muncul menjadi pikiran atau pemikiran disebut
sankhara, perpaduan. Disebut perpaduan karena sifat kemunculannya yang
tidak mandiri tetapi terjadi karena banyak faktor. Dan juga faktor-faktor
yang memungkinkan timbulnya pikiran itu tidak kekal, berubah terus, maka
pikiran yang muncul pun berubah dengan cepat.

Pengertian Benar

Bila faktor yang berpengaruh pada pikiran itu benar dan baik, maka pikiran
pun mendapatkan faktor yang benar dan baik. Pengaruh baik itu dalam
Delapan Unsur Jalan Mulia disebut Pengertian Benar atau Pandangan Benar.
Pengertian yang benar adalah pengertian yang sesuai dengan Hukum Alam
(Niyama Dhamma) dan membawa keterbebasan dari penderitaan.

Seluruh ajaran Guru Agung Buddha Gotama atau Dhamma, yang kita pelajari
dan fahami adalah pengertian benar. Pengertian benar ini mempengaruhi
pikiran. Tetapi pikiran tidak selalu berada dalam pengaruh atau arahan
pengertian yang benar. Faktor-faktor lain pun masih sering muncul
mempengaruhi pikiran kita, misalnya keserakahan, kebencian, keakuan, dan
berbagai angan-angan lainnya. Bila pengaruh buruk itu muncul pada pikiran,
lalu seseorang teringat pada pengertian benar bahwa keburukan akan
berakibat keburukan; oleh karenanya pengaruh buruk jangan diikuti; maka
pikiran buruk tidak akan berlanjut terus.

Proses tidak berlanjutnya pikiran buruk itu dapat diterangkan sebagai
berikut: Adanya kewaspadaan yang mengetahui bahwa pikiran buruk sedang
atau mulai muncul, kemudian digunakanlah pengertian atau konsep yang baik
untuk menghentikannya. Memang bisa berhasil. Meski bisa juga tidak
berhasil. Artinya, pikiran yang buruk itu berjalan terus sampai muncul
menjadi ucapan atau tindakan yang buruk. Cara ini yang dilakukan oleh
hampir semua umat beragama. Pengertian benar yang sudah diyakini atau
diimani digunakan untuk mengatasi pikiran-pikiran buruk.

Demikian juga, umat Buddha mengenal pengertian 'anatta' (tanpa-aku), atau
'sunnyata' (tanpa inti yang kekal). Tetapi, bukan berarti kalau seseorang
sudah mengerti atau faham benar tentang pengertian 'anatta' yang diajarkan
oleh Guru Agung Buddha Gotama, maka sudah tidak ada lagi pikiran keakuan
padanya. Pikiran keakuan itu tetap saja timbul dengan begitu cepat dan
begitu sering meskipun dia sudah sangat faham 'anatta' dan juga sudah
tidak menghendaki pikiran keakuan itu timbul.

Bila ia waspada terhadap munculnya pikiran keakuan itu: "Ini kebaikanku.
Ini jasaku. Ini kewajibanku. Ini hasilku," dan masih banyak lagi, lalu
dilawanlah pikiran keakuan itu dengan pengertiannya tentang 'anatta'
(tanpa-aku) yang sudah diyakini kebenarannya. Maka yang sekarang menjadi
pikirannya adalah pikiran atau konsep tentang 'anatta' (tanpa-aku)
tersebut. Cara ini bukanlah cara mengatasi atau menghabiskan keakuan,
melainkan melawan konsep (keakuan) dengan konsep (tanpa-aku).

Untuk memudahkan mengingat, kita berikan saja nama untuk cara ini: cara
'konvensional' atau cara 'biasa'.

Kewaspadaan atau Perhatian

Cara menghabiskan pikiran keakuan yang sering muncul dan menjadi sumber
keburukan atau penderitaan menurut ajaran Guru Agung Buddha Gotama adalah:
Perhatikan atau waspadai terus-menerus bila pikiran keakuan itu muncul.
Jangan menyesali bila pikiran keakuan muncul, tetapi yang sangat penting
adalah menyadari atau memperhatikan pikiran itu. Perhatikan saja! Waspadai
saja! Waspadai dengan sikap pasif. Artinya, tidak perlu menggunakan konsep
'anatta' (tanpa-aku) untuk menghentikan atau melawannya. Tidak
menganalisis dari mana munculnya pikiran keakuan itu, dan juga tidak perlu
ingin menghentikannya karena tidak sesuai dengan Dhamma. Tetapi,
perhatikan saja terus-menerus, awasi saja terus-menerus. Mengawasi dengan
pasif. Hanya mengawasi saja! Maka, pikiran keakuan itu akan teratasi, akan
berhenti dengan sendirinya. Inilah cara yang diajarkan oleh Dhamma ajaran
Guru Agung Buddha Gotama sebagai cara untuk menghabiskan keakuan. Kita
namakan cara ini: cara 'vipassana' atau cara 'pencerahan'
.

Memang kita belum mampu mengawasi setiap timbulnya pikiran buruk:
keserakahan, iri hati, kebencian, kekejaman, kejengkelan, kekecewaan, dan
keakuan yang menjadi sumber semuanya. Tetapi bila kita mengetahui atau
menyadari bahwa pikiran itu mulai atau sedang muncul, maka perhatikanlah,
awasilah! Pikiran itu akan berrhenti. Selanjutnya hanya kesadaran murni
yang berlangsung. Kesadaran murni itu adalah kata lain dari kebebasan.
Kebebasan dari penderitaan. Meski hanya dialami sesaat, kesadaran murni
adalah kebebasan. Bagi yang belum mencapai kebebasan penuh, kebebasan itu
hanya dialami sesaat. Mengapa hanya dialami sesaat? Karena kotoran yang
lain dari pikiran masih akan muncul lagi.

Perbedaan Manfaat antara Kedua Cara

Apakah perbedaan di antara kedua cara, yakni cara 'biasa' dan cara
'vipassana', dalam mengatasi pikiran buruk? Cara 'biasa', yaitu cara
melawan konsep buruk atau pikiran buruk dengan pikiran baik yang didasari
pengertian benar atau keyakinan memang bisa menghentikan pikiran buruk.
Karena pikiran buruk bisa dihentikan, maka perilaku buruk tidak akan
dilakukan. Tetapi cara ini tidak banyak mengurangi kelekatan seseorang
pada kenikmatan dalam melakukan keburukan. Ketagihan pada kenikmatan
terhadap keburukan, dan juga kenikmatan terhadap kebaikan, akan memperkuat
pikiran keakuan. Keakuan ini kemudian menyebabkan berbagai keinginan
bermunculan.

Cara 'vipassana' atau mengembangkan pandangan terang akan menumbuhkan
pencerahan mental yang menyadarkan kita bahwa kondisi pikiran ini adalah
tidak kekal. Dalam perhatian penuh atau perhatian terus-menerus itu kita
akan menyadari dengan jelas munculnya suatu pikiran, bertahan sebentar,
lalu tenggelam. Kemudian muncul pikiran yang lain, bergolak, berkembang,
tidak lama juga lalu tenggelam. Begitu seterusnya! Arus pikiran ini tidak
akan pernah berhenti. Pencerahan mental yang timbul dari perhatian
terus-menerus (nyana), bukan logika intelektual, terhadap pikiran kita
sendiri ini akan mengurangi kelekatan atau kelengketan kita terhadap
segala kenikmatan sesaat. Kekuatan keakuan yang timbul dalam pikiran
menjadi berkurang. Kekuatannya yang membakar-bakar berbagai keinginan pun
berkurang.

Kemampuan mengetahui pikiran-pikiran yang muncul, utamanya pikiran
keakuan, dan mengawasi atau menyadari terus-menerus sampai pikiran keakuan
itu lenyap adalah latihan dan juga tujuan meditasi Buddhis.

26 Desember 2006
dikutip dari milis samaggiphala kiriman dari Pak Hudoyo Hupudio
============
==============================
Situs Web MMD: http://meditasi-mengenal-diri.org
Forum Diskusi MMD: http://meditasi-mengenal-diri.ning.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar