Jumat, 20 Maret 2009

Melepaskan Sepatu Oleh : YM Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera

Melepaskan Sepatu
Oleh : YM. Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera



Suatu hari ada orang yang menghadiri acara yang dilaksanakan dengan
duduk bersila bersama. Dia kehilangan sepatunya. Setelah acara
selesai, dia mencari-cari dimana sepatu yang tadi dia lepaskan sebelum
memasuki ruangan itu. Lama dia mencari hingga semua yang hadir telah
maninggalkan tempat, tetapi sepatunya belum juga ketemu.

Sekarang pikirannya mulai gelisah, sangat gelisah. Dia kehilangan
sepatunya dan menjadi risau, bagaimana nanti kalau pulang tanpa alas
kaki. Tidak hanya gelisah, dia pun mulai mencurigai orang-orang
tertentu sebagai pencuri sepatunya. Kegelisahan dan kemarahan pun
dibawanya sampai ke rumah. Banyak orang di rumah mendapat porsi
kemarahannya juga. Demikian juga sampai malam menjelang tidur, dia
selalu memikirkan siapakah pencuri sepatunya. Sampai waktu tidur, dia
pun bermimpi menemukan kembali sepatunya. Tetapi begitu terbangun,
ternyata hanya mimpi, kecewa sekali. Sepatu yang hilang itu telah
menyita waktu bahkan menyiksa pikirannya selama berhari-hari. Dia
penasaran sekali.

Orang itu akhirnya datang kepada saya. Tetapi, bukannya meminta
nasihat akan kepusingannya–setelah dia menceritakan tentang sepatunya
yang hilang dan kepusingannya yang sudah beberapa hari–dia langsung
saja bertanya, dimana sekarang sepatunya itu. Dia menganggap saya
mempunyai kemampuan di luar kemampuan manusia biasa, bisa melihat dari
jauh keberadaan sepatunya sekarang.

Saya menjawab, “Oh ya, saya tahu di mana sekarang sepatu Anda yang
hilang itu.” Seketika wajahnya menjadi berseri-seri. Saya melanjutkan
menjawab, ”Sepatu Anda sekarang berada di dalam pikiran Anda sendiri”.
Dia sejenak terkejut, tetapi lalu menunduk agak tersipu-sipu malu.
Kemudian saya menjelaskan bahwa kita cenderung menyimpan dan
mengumpulkan banyak hal, tidak mau berlatih melepas, termasuk
mangumpulkan masalah, yang kecil-kecil sekalipun. Kita simpan dan kita
bawa kemana-man masalah-masalah yang menyiksa itu.

Kalau kita belajar melepas milik kita secara benar dengan cara
memberikan dana, memberi amal pertolongan kepada siapapun yang
memerlukan–yang sudah tentu dilakukan sesuai dengan kemampuan
kita–maka kita mulai balajar melepas. Tidak hanya mengikuti
keserakahan dengan mencari, mengumpulkan, dan menyimpan. Terus
mencari, mengumpulkan dan menyimpan sepanjang hari, selama hidup.
Sulit melatih diri melepaskan sesuatu untuk kebajikan.

Kalau kita sering dan senang berlatih melepas dengan memberi
kebajikan, maka kalau timbul masalah yang mengganggu pikiran, kita
bisa dengan tidak sulit melepaskannya. Mana yang Anda pilih? Materi
Anda tetap utuh tetapi pikiran Anda kacau, hancur; atau biarlah materi
terlepas – kalau memang amat sulit didapat kembali – asalkan pikiran
atau mental Anda tidak hancur. Dalam kehidupan ini, bukankah kita
menginginkan ketentraman?

Di ambil dari : milis samaggiphala kiriman Sdr. Andreas Gunadipo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar